News Ticker

Latest Posts

Biografi JR Saragih:Nurani yang Mudah Tersentuh

- Minggu, 01 Juni 2014 No Comments
Sekitar tahun 2000 itu, sebagai perwira pertama TNI Angkatan Darat, Jopinus Ramli (JR) Saragih memperoleh amanah tugas menjadi komandan polisi militer di salah satu wilayah Kabupaten Purwakarta. Sampai suatu ketika dia melihat dengan mata kepala sendiri seorang ibu meninggal dunia saat hendak melahirkan. Penyebabnya, si ibu bernasib malang itu tak tertolong gara-gara sudah amat terlambat tiba di rumah sakit.
 

Sebagai orang yang dibesarkan dalam bingkai keprihatinan, nurani JR Saragih begitu tersentuh, hatinya bagai teriris sembilu. Masa lalu JR Saragih memang boleh dikatakan kurang beruntung. Lahir sebagai bungsu dari lima bersaudara anak pasangan orang tua Rasen Saragih dan Theresia, tahun 1969, ketika baru berumur sekitar satu tahun, sang ayahanda dipanggil pulang Tuhan Yang Maha Kuasa. Kakak-kakak JR Saragih dibawa pamannya ke daerah Aceh. Sementara JR Saragih tinggal bersama kakek-neneknya di Pematang Raya, sampai kelas 4 Sekolah Dasar (SD). Dia langsung terpisah dari kakak-kakaknya.
Nestapa belum juga pergi dari kehidupan JR Saragih. Saat kelas 4 SD itu, neneknya meninggal dunia. Dia pun pontang-panting menghidupi diri sendiri. Dia lalu meninggalkan Pematang Raya, bekerja serabutan, termasuk sempat menjadi kernet mobil omprengan. Kendati begitu, dia tidak melupakan sekolah.
Tamat SMP di Kecamatan Munthe, tahun 1984, JR Saragih memutuskan merantau ke Ibukota Jakarta. Di sini, dia 
pertama kali datang ‘menumpang’ di abang tertua H. Anton Saragih. Tak lama memang, cuma sekitar enam bulan. 

Setelah itu, dia memutuskan tinggal mandiri dengan menyewa satu kamar di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Sembari melanjutkan sekolah SMA, dia sempat bekerja serabutan jadi kuli galian pasir. Meski tertatih-tatih, dia berhasil menamatkan pendidikan di SMA Prasasti dan kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah.
Dari pendidikan militer di kawasan Lembah Tidar (Kampus AMN), JR Saragih berhasil membawa pulang pangkat Letnan Dua TNI Angkatan Darat. Cakrawala kehidupan yang lebih cerah, lewat karir pengabdian kepada nusa-bangsa. Sampai kemudian bertugas sebagai komandan polisi militer di wilayah Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. “Saya banyak bersyukur dalam hidup ini, sekolah lancar, kuliah di Akademi Militer dibiayai oleh negara. Dan sekarang dipercaya rakyat mengemban amanah menjadi Bupati Simalungun,” ujar JR Saragih.
 
Keberanian, kegigihan dan ambisi; tiga kunci sukses JR Saragih mengubah perjalanan hidupnya dari nestapa menjadi sukacita. Kita teringat kisah Soichiro Honda, seorang miliuner dan industriwan yang telah menyumbangkan khazanah kebanggaan bagi bangsa Jepang. Dia bukanlah sosok manusia yang terlahir dari keluarga yang kaya atau bangsawan berdarah biru. Dia bukan pula manusia planet yang otak dan ototnya berbeda dengan makhluk bumi. Yang membedakannya dengan kebanyakan manusia adalah keyakinan dan ambisinya. Soichiro Honda termasuk orang yang sangat mengagumi Napoleon Bonaparte, tokoh yang banyak diceritakan oleh ayahnya semasa dia masih kecil.(redaksi )

See more at: http://www.penarakyat.com/2014/06/biografi-jr-saragih-bagian-ii-nurani.html#sthash.gJxD1wpm.dpuf

BIOGRAFI JR SARAGIH : Bekerja Tanpa Pamrih

- No Comments
Purwakarta, tahun 2000. Sebuah wilayah kabupaten yang relatif tidak terlalu jauh dari Ibukota Jakarta. Tapi, Purwakarta waktu itu belum seramai sekarang. Purwakarta hanyalah daerah kecil, seluas 971,72 km2 atau sekitar 2,81 persen dari wilayah Provinsi Jawa Barat. Dengan begitu sawah yang ada juga relatif sempit, hanya sekitar 228 km2. Boleh dikatakan wilayah yang ketika itu tengah didorong menjadi daerah industri ini lekat dengan kemiskinan. Denyut kehidupan wilayah yang cukup strategis itu belum banyak diperhitungkan oleh para penanam modal. Masih kalah populer dibandingkan dengan Cikampek (Kabupaten Karawang) dan Cikarang (Kabupaten Bekasi) yang telah lama diramaikan oleh kawasan industri. Purwakarta menjadi akrab di telinga warga masyarakat setelah dibuka akses Jalan Tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang) sekitar tahun 2007. Akses ke Purwakarta menjadi demikian gampang dan cepat. Serta mulai diperhitungkan sebagai salah satu kawasan industri andalan setelah tahun 2003 Pemerintah Kabupaten Purwakarta menetapkan kawasan industri seluas 2000 hektar, zona industri seluas 3000 hektar serta kawasan pariwisata Jatiluhur.
Sebagai sebuah wilayah kabupaten, di tahun 2000, penduduk Purwakarta saat itu sudah relatif padat, 698.353 jiwa atau kepadatan 719 jiwa per kilometer persegi dengan pertumbuhan 2,22 persen. Purwakarta ketika itu mulai meretas jalan menjadi salah kabupaten penyangga Ibukota Jakarta dan hinterland Ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung). Di beberapa titik wilayah mulai muncul kawasan-kawasan industri. Terutama di Kecamatan Jatiluhur, Purwakarta, Babakancikao dan Campaka. Ada upaya mengubah citra Purwakarta sebagai kota pensiun menjadi kota industri dan pariwisata. Menjadi segitiga emas Jakarta-Purwakarta-Bandung dan Bandung-Purwakarta-Cirebon.
Purwakarta tampil bagai gula. Lazimnya pepatah ada gula ada semut, orang pun mulai berdatangan ke wilayah yang dulu merupakan salah satu pusat kerajaan di Tanah Pasundan ini. Sampai kemudian komposisi pendatang (migran) mendominasi piramida penduduk Purwakarta. Jumlah migran permanen adalah 51,83 persen dengan kisaran umur 15-19 tahun. Kemudian migran temporer sebanyak 0,30 persen. Sedangkan komposisi gender antara laki-laki dan perempuan relatif setara, yaitu 51,21 persen dan 48,79 persen. Prosentase penduduk angkatan kerja di Kabupaten Purwakarta saat itu sebesar 282.961 orang (50,74 %), sedangkan bukan angkatan kerja 274.679 (49,26 %). Dari angkatan kerja tersebut jumlah yang sudah bekerja sebanyak 264.991 orang (93,65 %), dan pencari kerja sebanyak17.970 orang (6,35 %).
Repotnya, sebagaimana daerah industri pada umumnya, Purwakarta menghadapi persoalan kesejahteraan kaum buruh atau pekerja. Penghasilan mereka sebagai buruh pabrik hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Sementara kebutuhan papan dipenuhi dengan upaya mengontrak atau menyewa rumah petak yang tumbuh bagai cendawan di musim hujan di sentra-sentra perindustrian. Mereka sedikit abai terhadap kebutuhan penting seperti kesehatan. Jaminan kesehatan dari perusahaan tempat mereka bekerja pun relatif minim. Ketika mereka jatuh sedikit, hanya mampu mengandalkan obat warung atau pengobatan alternatif yang kadang penuh risiko. Sampai kemudian banyak di antara mereka yang mengalami sakit kronis dan terlambat memperoleh pertolongan. Dan tak sedikit pula yang bahkan jiwanya tak tertolong.

Banyak kaum buruh dan warga masyarakat kurang mampu lainnya di wilayah Purwakarta kala itu dilanda semacam rasa takut berobat ke klinik atau rumah sakit. Mereka merasa takut tidak bisa membayar biaya pelayanan kesehatan. Apalagi banyak rumah sakit yang memberlakukan ‘kewajiban’ membayar uang muka sebelum pasien ditangani.
Tidak hanya kaum buruh atau pekerja yang mengalami keadaan kesehatan yang memprihatinkan. Secara umum kondisi kesehatan warga Kabupaten Purwakarta ketika itu kurang menggembirakan. Pertumbuhan penduduk Purwakarta saat itu relatif tinggi, sekitar 2,22 persen. Hal ini berkait dengan angka kelahiran bayi dan jumlah penduduk perempuan usia subur. Di masa itu jumlah perempuan usia subur (usia 15-49 tahun) adalah 27,78% dari total jumlah penduduk. Keberadaan perempuan usia subur tersebut menyebar di setiap kecamatan dengan kisaran prosentase: Kecamatan Purwakarta 32,58%, Kecamatan Jatiluhur 9,43%, Kecamatan Campaka 13,61%, Kecamatan Plered 5,06%, Kecamatan Darangdan 7,73%, Kecamatan Tegalwaru 4,37%, Kecamatan Maniis 2,24%, Kecamatan Sukatani 3,51%, Kecamatan Wanayasa 9,53% dan Kecamatan Pasawahan 7,96% serta Kecamatan Bojong 3,98%.
Berkaitan dengan jumlah perempuan usia subur, anak pernah dilahirkan dan yang masih hidup menurut golongan umur ibunya tahun 1990 berjumlah 144.677 jiwa meningkat menjadi 160.364 pada tahun 1999 dan 180.676 jiwa pada tahun 2000, sedangkan jumlah anak lahir hidup berjumlah 333.221 orang menjadi 334.384 orang pada tahun 1999. Tahun 2000 jumlah anak lahir hidup meningkat menjadi 353.199 orang.

Terkait dengan indikator-indikator kesehatan di antaranya adalah Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH). Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Purwakarta menyebutkan bahwa AKB di Kabupaten Purwakarta pada tahun 2000 sebesar 66,68 orang per 1000 kelahiran hidup. Kemudian AHH penduduk Purwakarta pada tahun itu hanya 60,39 tahun. AHH Kabupaten Purwakarta menempati urutan ke-17 di Jawa Barat serta masih di bawah rata-rata AHH Jawa Barat sebesar 62,48 tahun. Pendek kata, potret kondisi kesehatan warga Kabupaten Purwakarta pada masa itu kurang menggembirakan.

see more at: http://www.penarakyat.com/2014/06/biografi-jr-saragih-bekerja-tanpa-pamrih.html#sthash.9mHugGNG.dpuf

BIOGRAFI JR SARAGIH : Bekerja Tanpa Pamrih

- No Comments
Purwakarta, tahun 2000. Sebuah wilayah kabupaten yang relatif tidak terlalu jauh dari Ibukota Jakarta. Tapi, Purwakarta waktu itu belum seramai sekarang. Purwakarta hanyalah daerah kecil, seluas 971,72 km2 atau sekitar 2,81 persen dari wilayah Provinsi Jawa Barat. Dengan begitu sawah yang ada juga relatif sempit, hanya sekitar 228 km2. Boleh dikatakan wilayah yang ketika itu tengah didorong menjadi daerah industri ini lekat dengan kemiskinan. Denyut kehidupan wilayah yang cukup strategis itu belum banyak diperhitungkan oleh para penanam modal. Masih kalah populer dibandingkan dengan Cikampek (Kabupaten Karawang) dan Cikarang (Kabupaten Bekasi) yang telah lama diramaikan oleh kawasan industri. Purwakarta menjadi akrab di telinga warga masyarakat setelah dibuka akses Jalan Tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang) sekitar tahun 2007. Akses ke Purwakarta menjadi demikian gampang dan cepat. Serta mulai diperhitungkan sebagai salah satu kawasan industri andalan setelah tahun 2003 Pemerintah Kabupaten Purwakarta menetapkan kawasan industri seluas 2000 hektar, zona industri seluas 3000 hektar serta kawasan pariwisata Jatiluhur.
Sebagai sebuah wilayah kabupaten, di tahun 2000, penduduk Purwakarta saat itu sudah relatif padat, 698.353 jiwa atau kepadatan 719 jiwa per kilometer persegi dengan pertumbuhan 2,22 persen. Purwakarta ketika itu mulai meretas jalan menjadi salah kabupaten penyangga Ibukota Jakarta dan hinterland Ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung). Di beberapa titik wilayah mulai muncul kawasan-kawasan industri. Terutama di Kecamatan Jatiluhur, Purwakarta, Babakancikao dan Campaka. Ada upaya mengubah citra Purwakarta sebagai kota pensiun menjadi kota industri dan pariwisata. Menjadi segitiga emas Jakarta-Purwakarta-Bandung dan Bandung-Purwakarta-Cirebon.
Purwakarta tampil bagai gula. Lazimnya pepatah ada gula ada semut, orang pun mulai berdatangan ke wilayah yang dulu merupakan salah satu pusat kerajaan di Tanah Pasundan ini. Sampai kemudian komposisi pendatang (migran) mendominasi piramida penduduk Purwakarta. Jumlah migran permanen adalah 51,83 persen dengan kisaran umur 15-19 tahun. Kemudian migran temporer sebanyak 0,30 persen. Sedangkan komposisi gender antara laki-laki dan perempuan relatif setara, yaitu 51,21 persen dan 48,79 persen. Prosentase penduduk angkatan kerja di Kabupaten Purwakarta saat itu sebesar 282.961 orang (50,74 %), sedangkan bukan angkatan kerja 274.679 (49,26 %). Dari angkatan kerja tersebut jumlah yang sudah bekerja sebanyak 264.991 orang (93,65 %), dan pencari kerja sebanyak17.970 orang (6,35 %).
Repotnya, sebagaimana daerah industri pada umumnya, Purwakarta menghadapi persoalan kesejahteraan kaum buruh atau pekerja. Penghasilan mereka sebagai buruh pabrik hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Sementara kebutuhan papan dipenuhi dengan upaya mengontrak atau menyewa rumah petak yang tumbuh bagai cendawan di musim hujan di sentra-sentra perindustrian. Mereka sedikit abai terhadap kebutuhan penting seperti kesehatan. Jaminan kesehatan dari perusahaan tempat mereka bekerja pun relatif minim. Ketika mereka jatuh sedikit, hanya mampu mengandalkan obat warung atau pengobatan alternatif yang kadang penuh risiko. Sampai kemudian banyak di antara mereka yang mengalami sakit kronis dan terlambat memperoleh pertolongan. Dan tak sedikit pula yang bahkan jiwanya tak tertolong.

Banyak kaum buruh dan warga masyarakat kurang mampu lainnya di wilayah Purwakarta kala itu dilanda semacam rasa takut berobat ke klinik atau rumah sakit. Mereka merasa takut tidak bisa membayar biaya pelayanan kesehatan. Apalagi banyak rumah sakit yang memberlakukan ‘kewajiban’ membayar uang muka sebelum pasien ditangani.
Tidak hanya kaum buruh atau pekerja yang mengalami keadaan kesehatan yang memprihatinkan. Secara umum kondisi kesehatan warga Kabupaten Purwakarta ketika itu kurang menggembirakan. Pertumbuhan penduduk Purwakarta saat itu relatif tinggi, sekitar 2,22 persen. Hal ini berkait dengan angka kelahiran bayi dan jumlah penduduk perempuan usia subur. Di masa itu jumlah perempuan usia subur (usia 15-49 tahun) adalah 27,78% dari total jumlah penduduk. Keberadaan perempuan usia subur tersebut menyebar di setiap kecamatan dengan kisaran prosentase: Kecamatan Purwakarta 32,58%, Kecamatan Jatiluhur 9,43%, Kecamatan Campaka 13,61%, Kecamatan Plered 5,06%, Kecamatan Darangdan 7,73%, Kecamatan Tegalwaru 4,37%, Kecamatan Maniis 2,24%, Kecamatan Sukatani 3,51%, Kecamatan Wanayasa 9,53% dan Kecamatan Pasawahan 7,96% serta Kecamatan Bojong 3,98%.
Berkaitan dengan jumlah perempuan usia subur, anak pernah dilahirkan dan yang masih hidup menurut golongan umur ibunya tahun 1990 berjumlah 144.677 jiwa meningkat menjadi 160.364 pada tahun 1999 dan 180.676 jiwa pada tahun 2000, sedangkan jumlah anak lahir hidup berjumlah 333.221 orang menjadi 334.384 orang pada tahun 1999. Tahun 2000 jumlah anak lahir hidup meningkat menjadi 353.199 orang.

Terkait dengan indikator-indikator kesehatan di antaranya adalah Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH). Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Purwakarta menyebutkan bahwa AKB di Kabupaten Purwakarta pada tahun 2000 sebesar 66,68 orang per 1000 kelahiran hidup. Kemudian AHH penduduk Purwakarta pada tahun itu hanya 60,39 tahun. AHH Kabupaten Purwakarta menempati urutan ke-17 di Jawa Barat serta masih di bawah rata-rata AHH Jawa Barat sebesar 62,48 tahun. Pendek kata, potret kondisi kesehatan warga Kabupaten Purwakarta pada masa itu kurang menggembirakan.

see more at: http://www.penarakyat.com/2014/06/biografi-jr-saragih-bekerja-tanpa-pamrih.html#sthash.9mHugGNG.dpuf