Purwakarta, tahun 2000. Sebuah wilayah kabupaten yang relatif tidak terlalu jauh dari Ibukota Jakarta. Tapi, Purwakarta waktu itu belum seramai sekarang. Purwakarta hanyalah daerah kecil, seluas 971,72 km2 atau sekitar 2,81 persen dari wilayah Provinsi Jawa Barat. Dengan begitu sawah yang ada juga relatif sempit, hanya sekitar 228 km2. Boleh dikatakan wilayah yang ketika itu tengah didorong menjadi daerah industri ini lekat dengan kemiskinan. Denyut kehidupan wilayah yang cukup strategis itu belum banyak diperhitungkan oleh para penanam modal. Masih kalah populer dibandingkan dengan Cikampek (Kabupaten Karawang) dan Cikarang (Kabupaten Bekasi) yang telah lama diramaikan oleh kawasan industri. Purwakarta menjadi akrab di telinga warga masyarakat setelah dibuka akses Jalan Tol Cipularang (Cikampek-Purwakarta-Padalarang) sekitar tahun 2007. Akses ke Purwakarta menjadi demikian gampang dan cepat. Serta mulai diperhitungkan sebagai salah satu kawasan industri andalan setelah tahun 2003 Pemerintah Kabupaten Purwakarta menetapkan kawasan industri seluas 2000 hektar, zona industri seluas 3000 hektar serta kawasan pariwisata Jatiluhur.
Sebagai sebuah wilayah kabupaten, di tahun 2000, penduduk Purwakarta saat itu sudah relatif padat, 698.353 jiwa atau kepadatan 719 jiwa per kilometer persegi dengan pertumbuhan 2,22 persen. Purwakarta ketika itu mulai meretas jalan menjadi salah kabupaten penyangga Ibukota Jakarta dan hinterland Ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung). Di beberapa titik wilayah mulai muncul kawasan-kawasan industri. Terutama di Kecamatan Jatiluhur, Purwakarta, Babakancikao dan Campaka. Ada upaya mengubah citra Purwakarta sebagai kota pensiun menjadi kota industri dan pariwisata. Menjadi segitiga emas Jakarta-Purwakarta-Bandung dan Bandung-Purwakarta-Cirebon.
Purwakarta tampil bagai gula. Lazimnya pepatah ada gula ada semut, orang pun mulai berdatangan ke wilayah yang dulu merupakan salah satu pusat kerajaan di Tanah Pasundan ini. Sampai kemudian komposisi pendatang (migran) mendominasi piramida penduduk Purwakarta. Jumlah migran permanen adalah 51,83 persen dengan kisaran umur 15-19 tahun. Kemudian migran temporer sebanyak 0,30 persen. Sedangkan komposisi gender antara laki-laki dan perempuan relatif setara, yaitu 51,21 persen dan 48,79 persen. Prosentase penduduk angkatan kerja di Kabupaten Purwakarta saat itu sebesar 282.961 orang (50,74 %), sedangkan bukan angkatan kerja 274.679 (49,26 %). Dari angkatan kerja tersebut jumlah yang sudah bekerja sebanyak 264.991 orang (93,65 %), dan pencari kerja sebanyak17.970 orang (6,35 %).
Repotnya, sebagaimana daerah industri pada umumnya, Purwakarta menghadapi persoalan kesejahteraan kaum buruh atau pekerja. Penghasilan mereka sebagai buruh pabrik hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Sementara kebutuhan papan dipenuhi dengan upaya mengontrak atau menyewa rumah petak yang tumbuh bagai cendawan di musim hujan di sentra-sentra perindustrian. Mereka sedikit abai terhadap kebutuhan penting seperti kesehatan. Jaminan kesehatan dari perusahaan tempat mereka bekerja pun relatif minim. Ketika mereka jatuh sedikit, hanya mampu mengandalkan obat warung atau pengobatan alternatif yang kadang penuh risiko. Sampai kemudian banyak di antara mereka yang mengalami sakit kronis dan terlambat memperoleh pertolongan. Dan tak sedikit pula yang bahkan jiwanya tak tertolong.
Banyak kaum buruh dan warga masyarakat kurang mampu lainnya di wilayah Purwakarta kala itu dilanda semacam rasa takut berobat ke klinik atau rumah sakit. Mereka merasa takut tidak bisa membayar biaya pelayanan kesehatan. Apalagi banyak rumah sakit yang memberlakukan ‘kewajiban’ membayar uang muka sebelum pasien ditangani.
Tidak hanya kaum buruh atau pekerja yang mengalami keadaan kesehatan yang memprihatinkan. Secara umum kondisi kesehatan warga Kabupaten Purwakarta ketika itu kurang menggembirakan. Pertumbuhan penduduk Purwakarta saat itu relatif tinggi, sekitar 2,22 persen. Hal ini berkait dengan angka kelahiran bayi dan jumlah penduduk perempuan usia subur. Di masa itu jumlah perempuan usia subur (usia 15-49 tahun) adalah 27,78% dari total jumlah penduduk. Keberadaan perempuan usia subur tersebut menyebar di setiap kecamatan dengan kisaran prosentase: Kecamatan Purwakarta 32,58%, Kecamatan Jatiluhur 9,43%, Kecamatan Campaka 13,61%, Kecamatan Plered 5,06%, Kecamatan Darangdan 7,73%, Kecamatan Tegalwaru 4,37%, Kecamatan Maniis 2,24%, Kecamatan Sukatani 3,51%, Kecamatan Wanayasa 9,53% dan Kecamatan Pasawahan 7,96% serta Kecamatan Bojong 3,98%.
Berkaitan dengan jumlah perempuan usia subur, anak pernah dilahirkan dan yang masih hidup menurut golongan umur ibunya tahun 1990 berjumlah 144.677 jiwa meningkat menjadi 160.364 pada tahun 1999 dan 180.676 jiwa pada tahun 2000, sedangkan jumlah anak lahir hidup berjumlah 333.221 orang menjadi 334.384 orang pada tahun 1999. Tahun 2000 jumlah anak lahir hidup meningkat menjadi 353.199 orang.
Terkait dengan indikator-indikator kesehatan di antaranya adalah Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH). Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Purwakarta menyebutkan bahwa AKB di Kabupaten Purwakarta pada tahun 2000 sebesar 66,68 orang per 1000 kelahiran hidup. Kemudian AHH penduduk Purwakarta pada tahun itu hanya 60,39 tahun. AHH Kabupaten Purwakarta menempati urutan ke-17 di Jawa Barat serta masih di bawah rata-rata AHH Jawa Barat sebesar 62,48 tahun. Pendek kata, potret kondisi kesehatan warga Kabupaten Purwakarta pada masa itu kurang menggembirakan.
see more at: http://www.penarakyat.com/2014/06/biografi-jr-saragih-bekerja-tanpa-pamrih.html#sthash.9mHugGNG.dpuf
No Comment to " BIOGRAFI JR SARAGIH : Bekerja Tanpa Pamrih "